Minyak Tanah Di Cabut Peredarannya Per 10 Oktober 2011
TERHITUNG per 10 Oktober 2011, Pertamina tidak lagi menyalurkan minyak bersubsidi menyusul penarikan bantuan subsidi APBN ke minyak tanah. Namun belum lagi dilaksanakan ketentuan itu, warga di sejumlah daerah langsung mengeluhkan melonjaknya harga minyak tanah di tingkat eceran.
Di Kabupaten Bungo, dua hari sebelum tenggat harga minyak tanah di pasaran telah menembus angka Rp 12 ribu per liter, bahkan warga di lokasi yang jauh dari pangkalan angka melonjak menjadi Rp 16 ribu per liter. Kontan, sejumlah ibu rumah tangga menjerit karena itu artinya dompet dapur mereka kembali tergerus biaya konsumsi minyak tanah.
Apalagi, sebagian besar warga masih mengandalkan minyak tanah sebagai sumber kebutuhan memasak dan menerangi rumah. Parahnya, tidak hanya terjadi lonjakan harga, stok minyak tanah di pasaran juga sebagian menghilang. Sebagian disebut karena tiadanya pasokan dari Pertamina.
Di Tanjung Jabar Barat, sejak 20 hari lalu, minyak di pangkalan sudah kosong. Di Kota Jambi, puluhan warga beberapa hari lalu menggelar unjuk rasa menolak pencabutan subsidi itu. Mereka juga mulai mengeluhkan harga minyak. Pemerintah sendiri sebenarnya sudah bertahap melakukan pencabutan subsidinya.
Begitu juga dengan persentase besarannya, sejak September lalu. Pada 26-30 September, pemerintah mencabut besaran subsidi 20 persen, lalu 1-8 Oktober sebesar 75 persen, dan mulai hari ini, dicabut penuh 100 persen. Belum diketahui apakah itu jadi diterapkan karena Pemprov Jambi berjanji mengajukan penundaan ke Kementerian ESDM.
Pencabutan subsidi minyak tanah, termasuk sejumlah BBM lainnya, lantaran nilainya dipandang telah membebani APBN. Bersama anggaran gaji dan tunjangan PNS, anggaran subsidi menyita hampir 60 persen APBN. Sehingga pemerintah tidak bisa menggerakakan pembiayaan pembangunan akibat tersandera kewajiban itu.
Pada saat yang sama, opsi konversi gas elpiji juga belum mendapatkan respon menggembirakan warga. Banyak warga yang masih mengungkapkan ketakutan menggunakan elpiji sebagai pengganti minyak tanah. Soal subsidi minyak tanah, termasuk BBM lainnya, memang dilematis. Karenanya, pemerintah harus arif dalam mengawal persoalan ini.
Perlu dipertimbangkan kondisi psikologis warga yang selama ini mengandalkan minyak tanah sebagai nyawa dapur mereka. Penundaan pencabutan subsidi, meski positif sejatinya tidak menyelesaikan persoalan ini, karena persoalan beban anggaran tidak bisa ditunda lagi pemangkasannya.
Opsi paling buruk dari terburuk memang konversi ke elpiji. Namun di dalamnya mensyaratkan keteladanan para pemangku kepentingan. Persoalannya, mereka sepertinya belum menganggap opsi ini kewajiban daerah. Sehingga proses sosialisasi yang seharusnya sinergis lintas sektoral terjerembab persoalan koordinasi.
Apalagi pemerintah daerah bukan leading sector dalam persoalan ini. Imbasnya, proses sosialisasi menjadi lamban perkembangannya kalau tidak bisa disebut tidak ada kemajuan. Terbukti, warga masih banyak memilik minyak tanah ketimbang elpiji, meski secara keekonomian elpiji lebih ekonomis ketimbang minyak tanah.
Kabar baiknya, celah persoalan itu sejatinya adalah jalan tengah persoalan subsidi minyak tanah selama ini. Pendeknya, para pemangku kepentingan agaknya harus mulai memahami celah ini, dan memetakannya menjadi sebentuk anatomi kebijakan. Memang untuk itu, mereka harus lebih banyak menyingsingkan lengan baju, dan memeras otak merancang strateginya.
Hasilnya juga memang tidak akan terlihat sekarang. Kendati demikian, ini dipandang lebih baik ketimbang hanya sibuk mengurus birokrasi penundaan kebijakan yang tidak mungkin terus-terusan didiskresi. Apalagi pencabutan anggaran sebuah keniscayaan. Untuk itu, pemerintahan di sini harus siap tidak populer karena memang itu sejatinya harga pilihak kebijakan publik yang harus diambil menjawab dilema ini. Siapkah?
